“TUHAN Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya di Taman Eden untuk mengerjakan dan memelihara taman itu” (Kejadian 2: 15 – TB2)

8 TUHAN Allah membuat taman di Eden, di timur. Di sanalah Ia menempatkan manusia yang dibentuk-Nya.  9 Lalu TUHAN Allah menumbuhkan dari tanah berbagai pohon yang menarik dan yang baik untuk dimakan buahnya, juga pohon kehidupan di tengah-tengah taman itu serta pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat.  10 Ada sungai mengalir dari Eden untuk membasahi taman itu. Dari situ sungai itu terbagi menjadi empat cabang.  11 Yang pertama bernama Pison. Sungai ini mengelilingi seluruh tanah Hawila, dimana ada emas.  12 Emas dari negeri itu bagus. Di sana ada damar bedolah dan batu krisopras.  13 Sungai kedua bernama Gihon, yang mengelilingi seluruh tanah Kus.  14 Sungai ketiga bernama Tigris, yang mengalir di sebelah timur Asyur. Sungai keempat ialah Efrat.  15 TUHAN Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya di Taman Eden untuk mengerjakan dan memelihara taman itu.

Eden dalam bahasa Ibrani berarti “kesenangan” (bdk. Mzm. 36: 9 – nakhal ‘adanēkha) atau “kegembiraan”. Kata ini berakar dari kata ‘adan yang juga berarti “indah”, “cantik” atau “mewah” (bdk. 2Sam. 1: 24 – shanî ‘im-‘adanīm). Tetapi, ada juga yang beranggapan bahwa kata ini berakar dari kata dalam bahasa Akkad, edinu, yang berarti “subur”, dalam pengertian agraria, artinya wilayah yang terairi dengan baik.

Tuhan merancang taman di wilayah ini, yaitu di sebelah timurnya, dan menempatkan manusia di situ. Di taman ini Tuhan menempatkan pohon kehidupan dan pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat (ay. 9b). Kedua pohon ini menjadi simbol hukum dan perjanjian Tuhan dengan manusia, yang juga sekaligus melambangkan persekutuan yang intim dengan Tuhan, sebab pohon ini sekaligus menandai kehadiran dan otoritas Tuhan di tengah-tengah manusia. Dengan demikian, keberadaan pohon ini menggambarkan relasi ibadah manusia kepada Tuhan.

Tetapi, tak hanya soal kerohanian. Dari nama taman ini kita bisa mengetahui bahwa taman ini merupakan wilayah yang sangat istimewa untuk ditinggali manusia, sebab wilayahnya sangat subur, ditumbuhi berbagai pepohonan yang menarik dan buahnya baik untuk dimakan (ay. 9a) serta diairi dengan sungai yang memiliki empat cabang (ay. 10-14). Dengan kekayaan dan keindahan alam yang dimiliki oleh taman itu, Tuhan menempatkan manusia di sana untuk “mengerjakan” (‘avad) dan “memelihara” (shamar)-nya (ay. 15). Tugas ini diberikan kepada manusia sebelum manusia jatuh ke dalam dosa.

Karena itu, pandangan yang mengatakan bahwa “bekerja” adalah kutukan, merupakan pandangan yang tidak alkitabiah. Memang dalam Kej. 3: 17 manusia dihukum harus bersusah payah atau berjerih lelah untuk mencari rezeki, tetapi itu bukan kutukan Tuhan. Pada ayat ini, Tuhan mengutuk tanah, bukan manusia. Sebagai konsekuensinya, manusia harus bekerja lebih keras seumur hidupnya.

Bekerja itu sendiri adalah anugerah dari Tuhan. Bahkan, Tuhan digambarkan “bekerja” ketika Ia menciptakan alam semesta (bdk. Kej. 2: 2). Itulah sebabnya, alkitab mengapresiasi orang-orang yang giat dan rajin dalam bekerja (bdk. Mzm. 10: 4; 2Tes. 3: 10; 2Tim. 2: 6), dan mengecam orang-orang yang malas (bdk. Ams. 12: 27; 18: 9; 21: 25).

Dalam bahasa Ibrani, kata “bekerja” (‘avad) menjadi akar kata dari kata “ibadah” (avodâ). Karena itu, ketika kita bekerja, bekerjalah seperti untuk Tuhan, yaitu bekerja dengan segenap hati dan tentu saja mendatangkan damai sejahtera (Kol. 3: 23). Jangan sampai pekerjaan kita menjauhkan kita dari keluarga kita, dari sesama orang percaya, dan juga dari Tuhan. ☐