“Jadi, iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran dari pemberitaan oleh firman Kristus” (Roma 10:17)
16 Tetapi, tidak semua orang telah menerima kabar baik itu. Yesaya sendiri berkata, “Tuhan, siapakah yang percaya kepada pemberitaan kami?” 17 Jadi, iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran dari pemberitaan oleh firman Kristus 18 Tetapi, aku bertanya: Apakah mereka tidak mendengarnya? Justru mereka telah mendengarnya, “Suara pembawa berita sudah sampai ke seluruh dunia, dan perkataan mereka sampai ke ujung bumi.” 19 Tetapi, aku bertanya: Apakah Israel mengerti? Pertama-tama Musa berkata, “Aku membuat kamu cemburu terhadap orang-orang yang bukan umat dan membangkitkan kemarahanmu terhadap bangsa yang bebal.” 20 Lagi pula, dengan berani Yesaya mengatakan, “Aku telah berkenan ditemukan mereka yang tidak mencari Aku, Aku telah menampakkan diri kepada mereka yang tidak menanyakan Aku.” 21 Namun, tentang Israel ia berkata, “Sepanjang hari Aku telah mengulurkan tangan-Ku kepada umat yang tidak taat dan yang membantah.”
Jika pada perikop sebelumnya Rasul Paulus menekankan pentingnya pemberitaan firman agar semakin banyak orang mengenal Kristus dan diselamatkan, maka pada perikop ini ia membeberkan suatu kenyataan bahwa ternyata pemberitaan firman tidaklah cukup. Nyatanya, orang-orang Israel adalah bangsa yang paling sering menerima firman Tuhan, bahkan sejak zaman para nabi—khususnya nabi Yesaya. Tetapi, mereka justru tidak mengerti (ay. 19).
Perkataan Rasul Paulus ini mengingatkan kita atas murka Tuhan Yesus, sebagaimana dicatat dalam Matius 13: 14, “Jadi, terhadap mereka genaplah nubuat Yesaya, yang berbunyi: Kamu sungguh-sungguh mendengar, tetapi tidak mengerti, kamu akan sungguh-sungguh melihat, tetapi tidak memahami. Sebab, hati bangsa ini telah menebal, dan telinganya berat mendengar, dan matanya melekat tertutup; supaya jangan mereka melihat dengan matanya dan mendengar dengan telinganya dan mengerti dengan hatinya, lalu berbalik sehingga Aku menyembuhkan mereka.”
Israel—umat yang dikasihi Tuhan—tetapi hati mereka keras dan bebal. Mereka tidak kekurangan pemberitaan Injil, tetapi mereka kurang terbuka terhadap pemberitaan itu. Mereka tidak taat dan membantah setiap pemberitaan yang mereka terima, sehingga iman mereka tidak bertumbuh.
Karena itulah, Rasul Paulus mengungkapkan kunci pertumbuhan iman: Pertama, “mau mendengar”, sebab “iman timbul dari pendengaran” (ay. 17). Dalam konteks sekarang, bisa juga dikatakan “mau membaca” firman Tuhan atau bahkan “mau melihat” firman Tuhan, terutama karena kita berada di era teknologi informasi yang semakin maju, dimana pemberitaan firman tidak melulu melalui pemberitaan lisan, seperti pada masa awal kekristenan, melainkan juga dalam bentuk tulisan dan visual.
Banyak orang menekankan pentingnya menjadi pelaku firman Tuhan. Tidak salah! Tetapi, apa yang mau dilakukan jika kita sendiri tidak pernah mendengar dan membaca firman? Sama seperti dalam proses pendidikan, kita tidak bisa mengabaikan hal-hal mendasar dari sebuah pertumbuhan, yaitu proses penanaman nilai dan pengetahuan.
Kita hanya mungkin bertumbuh dengan baik dan benar, jika kita disirami dan dibekali dengan pengajaran yang benar, yang bersumber dari firman Tuhan. Masa depan kita ditentukan oleh apa yang kita pelajari sejak sekarang.
Kedua, “memahami atau mengerti” firman Tuhan (ay. 19). Sebab, percuma firman diberitakan dan dibaca, jika tidak ada keterbukaan hati untuk memahaminya. Di sinilah diperlukan keterbukaan hati untuk belajar dan menggali kebenaran firman Tuhan, sama seperti orang-orang Berea, yang “lebih terbuka hatinya... karena mereka menerima firman itu dengan segala kerelaan hati dan setiap hari mereka menyelidiki Kitab Suci untuk mengetahui apakah semuanya itu benar demikian” (Kisah Para Rasul 17: 11).
Di zaman sekarang, banyak orang berbicara tentang firman Tuhan, sehingga muncul berbagai bentuk pengajaran tentang firman. Karena itu, kita perlu membekali diri kita dengan baik tentang kebenaran firman Tuhan, dengan membiarkan firman Tuhan berbicara apa adanya, tanpa terombang-ambing oleh rupa-rupa penafsiran. Tetapi, bukan berarti firman Tuhan tidak perlu ditafsirkan. Ada dua prinsip penting yang harus kita pegang dalam menafsirkan firman Tuhan: Pertama, jangan menafsirkan firman Tuhan untuk memuaskan keinginan kita (bdk. 2Timotius 4: 3), sebab firman Tuhan tak hanya berisi hal-hal yang menyenangkan kita, tetapi juga berisi nasihat dan teguran, bahkan menyingkapkan kesalahan kita untuk memperbaiki perilaku kita (bdk. 2Timotius 3: 16).
Kedua, jangan menafsirkan firman Tuhan menurut kehendak kita sendiri, sebab kehendak manusia itu cenderung dibayang-bayangi oleh egonya sendiri. Dibutuhkan kelapangan hati untuk menggali firman Tuhan, tanpa dibutakan oleh konsep yang ada dalam diri kita.
Ketiga, “taat dan tunduk” pada firman Tuhan (ay. 21). Hal yang membuat bangsa Israel sulit menerima firman Tuhan adalah ketidaktaatan mereka serta perbantahan-perbantahan mereka. Mereka mendengar dan belajar kebenaran, tapi tidak mau menerimanya dan lebih memilih untuk tunduk pada kebenaran sendiri. Jadilah pribadi yang memiliki hati yang terbuka dan dengan rela menyelidiki kebenaran, seperti orang-orang Berea. Amin!