
Apakah Yefta Membakar Putrinya?
Shalom ka, maaf ganggu , mau tanya tentang putri Yefta di hakim-hakim ka, yg korban dari nazar bapaknya, itu dia di jadikan kurban bakaran atau dijadikan abdi Allah “biarawati” ?
--DS, Jakarta
Shalom DS,
Di Alkitab memang tidak disebutkan apakah Yefta mempersembahkan putrinya sebagai kurban bakaran atau tidak. Tapi, dalam Taurat ada aturan tegas bahwa nazar itu wajib dilaksanakan persis seperti apa yang dikatakan (Bilangan 30:2).
Di sisi lain, ada juga larangan dalam Taurat untuk mempersembahkan manusia, dalam pengertian seperti agama-agama suku kuno, dimana mereka mempersembahkan manusia kepada dewa-dewa dengan cara dibakar atau dibunuh—khususnya anak-anak (misal di Ulangan 12:31).
Artikel Terkait
Dalam menafsir hukum Taurat, biasanya jika ada benturan antara perintah dan larangan, maka dilihat konsekuensi khata’ (pelanggaran) terberat mana berdasarkan ketetapan kurban atau konsekuensi hukumnya. Di Taurat, setiap khata’ itu ada kurbannya, terutama dua bentuk kurban, yaitu “kurban penebus salah” (asham) dan “kurban penghapus dosa: (khata’at).
Jika kita melanggar suatu ketetapan hukum dengan konsekuensi kita harus mempersembahkan asham, sementara pelanggaran terhadap ketetapan lain harus mempersembahkan khata’at, maka kita harus lebih memprioritaskan untuk tidak melakukan pelanggaran yang harus ditebus dengan khata’at.
Dalam kasus Yefta, konsekuensi untuk tidak menepati nazar lebih rendah dibanding mempersembahkan manusia, meskipun itu kepada Allah (beda kasus dengan Yesus yang mempersembahkan diri-Nya). Sebab, Yefta hidup di tengah-tengah bangsa kafir yang lazim mempersembahkan anak-anak kepada berhala atau dewa-dewa. Jika Yefta harus mengikuti cara para penyembah berhala, maka sama saja dia menjadikan Allah sejajar dengan berhala-berhala zaman itu.
Jadi, biasanya ada alternatif untuk memenuhi nazar, misalnya menjadikan putrinya sebagai “nazir Allah”. Artinya, anak itu sepenuhnya mengabdi kepada Allah dan tidak akan pernah menikah seumur hidupnya. Dalam kitab Imamat, nazar dalam bentuk manusia juga bisa ditebus dengan uang (bdk. Im. 27).
Tapi, apakah Yefta memilih alternatif nazar atau melaksanakan nazarnya secara harfiah tidak disebutkan dalam Alkitab. Pelajaran berharga yang bisa kita ambil dari kasus Yefta adalah berhati-hatilah dalam mengucapkan nazar. Sebab, apa pun yang kita nazarkan, kita dituntut untuk bisa mewujudkannya.

Penulis:
Yosi Rorimpandei
Koordinator Komisi Pengajaran GKRIDC