
Tidak Bisa Jual-Beli Tanpa Tanda di Dahi dan Tangan
BuGem, fyi, Mohon bantuan menafsir firman Tuhan di Wahyu 13:17, Wahyu 13:17 (TB) “dan tidak seorang pun yang dapat membeli atau menjual selain dari pada mereka yang memakai tanda itu, yaitu nama binatang itu atau bilangan namanya.”--Enny, Jakarta
Shalom Ibu Enny,
Kitab Wahyu ditulis dengan genre sastra “apokaliptik”, yaitu suatu bentuk genre sastra yang lahir di kalangan orang-orang Yahudi pasca-pembuangan di Babel dan terus berkembang hingga abad pertama Masehi. Genre sastra ini kemudian diadopsi oleh para penulis Kristen mula-mula, termasuk oleh penulis kitab Wahyu ini.
Masuknya genre sastra ini ke dalam Alkitab melengkapi kekayaan sastra Alkitab, yang menunjukkan kepada kita bahwa Allah bisa menggunakan berbagai bentuk karya modern manusia untuk kepentingan menyampaikan kebenaran firman-Nya. Tak hanya sastra, Allah pun menggunakan berbagai bahasa, dimana naskah asli Alkitab ditulis dalam tiga bahasa: Ibrani, Aramaik, dan Yunani.
Mengapa hal ini penting untuk kita ketahui, supaya kita tidak membatasi Allah hanya berbicara dengan satu bahasa tertentu, seolah-olah Allah kurang berkuasa dan terikat oleh suatu bahasa ataupun budaya.
Allah berbicara dengan beragam-ragam bahasa dan sastra, tentu saja ada maksudnya, yaitu supaya pesan yang hendak Ia sampaikan bisa dengan mudah dipahami oleh para pembaca mula-mula. Masalahnya, Alkitab kita ditulis selama berabad-abad, diperkirakan dari abad ke-10 SM hingga abad ke-2 M. Artinya, ada begitu banyak penulis di dalamnya, yang berhadapan dengan begitu banyak latar belakang pembaca dari berbagai budaya dan situasi.
Bayangkan jika Allah hanya berbicara dengan “satu bahasa” dan “satu budaya” kepada orang-orang dari berbagai latar belakang itu. Tentulah pesan Allah akan sulit tersampaikan, dan Allah butuh “penerjemah” agar bisa dimengerti.
Puji Tuhan kita punya Allah yang melampaui segalanya. Ia berbicara dengan bahasa yang kita pahami, bahkan kuasa maha dahsyat itu bisa kita baca dalam peristiwa Pentakosta (bdk. Kis. 2:1-13), ketika murid-murid Yesus—dengan kuasa Roh Kudus—berbicara kepada banyak orang menggunakan beragam-ragam bahasa.
Kembali ke kitab Wahyu. Mengapa kitab Wahyu harus menggunakan “sastra apokaliptik” yang rumit? Bukankah Allah berbicara dengan bahasa yang mudah kita pahami?
Betul! Tetapi, ingat juga bahwa Allah berbicara dalam berbagai situasi. Ketika kitab Wahyu ditulis, jemaat mula-mula sedang berhadapan dengan penganiayaan dan pembatasan besar-besaran oleh rezim Romawi yang jahat. Para pemimpin jemaat kesulitan berkomunikasi terbuka dengan jemaat-jemaat yang ada, sehingga mereka memanfaatkan bentuk komunikasi yang “tertutup” atau “rahasia”, yaitu melalui bahasa-bahasa simbolis.
Itulah sebabnya kita menemukan banyak sekali simbol dalam kitab Wahyu: ada naga, domba, sangkakala, tanduk, binatang, meterai, dan banyak lagi. Bahasa simbol semacam ini bukanlah hal baru bagi jemaat mula-mula—apalagi mereka yang berlatar belakang Yudaisme—sebab, dalam Perjanjian Lama genre sastra seperti ini sudah digunakan, misalnya pada zaman Daniel.
Artikel Terkait
Jadi, bahasa simbolis ala kitab Wahyu, bagi kita yang hidup di zaman sekarang, terasa sulit dipahami, tetapi bagi para pembaca mula-mula, bahasa ini menjadi bahasa yang bisa membantu mereka berkomunikasi di era pembredelan tulisan-tulisan keagamaan.
Karena itu, untuk menjawab pertanyaan Ibu Enny tentang Wahyu 13:17 haruslah dimulai dengan pendekatan apa yang akan kita gunakan untuk memahami kitab Wahyu ini?
Setidaknya ada tiga model pendekatan yang lazim di kalangan penafsir-penafsir Perjanjian Baru terhadap kitab Wahyu: Pertama, pendekatan profetik. Pendekatan ini sepenuhnya melihat kitab Wahyu sebagai nubuatan akan apa yang akan terjadi pada akhir zaman. Pendekatan ini pun masih dibagi ke dalam pendekatan-pendekatan lainnya, seperti preteris, futuris, dan historis (supaya tidak membingungkan, saya lewatkan dulu penjelasan mengenai pendekatan-pendekatan ini); Kedua, pendekatan spiritualis. Pendekatan ini menekankan bahwa kitab Wahyu haruslah dipahami makna rohaninya, bukan makna harfiah; dan ketiga, pendekatan historis—atau ada yang menyebutnya “historis-kritis”—dimana kitab Wahyu harus dikaji dengan analisa sejarah dan latar belakang penulis serta jemaat mula-mula.
Jika kita menggunakan pendekatan pertama, maka larangan jual-beli tanpa tanda “nama” atau “bilangan” binatang itu belum terjadi. Hal itu akan terjadi di masa mendatang, yang bisa saja terjadi dalam waktu dekat, tetapi bisa juga di masa mendatang. Pendekatan ini membuat banyak bertebaran kecurigaan-kecurigaan terhadap sistem perdagangan atau alat-alat pembayaran modern. Misalnya, dulu penggunaan kartu kredit, barcode, hingga penerapan teknologi microchip, yang sampai sekarang belum terealisasi. Selain itu, kebijakan-kebijakan ekonomi sejumlah negara atau organisasi juga tak luput dari kecurigaan para penganut pendekatan ini, misalnya ketika terbentuknya Uni Eropa atau sekarang dengan penggunaan mata uang crypto.
Jika kita menggunakan pendekatan kedua, maka larangan jual-beli itu bisa jadi bukanlah larangan jual-beli secara harfiah, melainkan ada makna rohani di balik itu yang lebih dalam daripada sebatas jual-beli sehari-hari. Intinya, akan adanya upaya untuk membatasi dan menyingkirkan orang-orang percaya dari sistem duniawi, sehingga kita akan berhadapan dengan situasi yang amat mengerikan.
Jika kita menggunakan pendekatan ketiga, maka larangan jual-beli itu bukanlah berbicara tentang apa yang akan terjadi nanti, melainkan apa yang dialami oleh jemaat mula-mula ketika mereka berhadapan dengan tirani Romawi.
Pertanyaannya sekarang adalah pendekatan mana yang paling benar?
Setiap pendekatan akan disertai dengan argumen teologis untuk membenarkan diri dan sekaligus membantah pendekatan yang lain. Karena itu, sebaiknya kita jangan terjebak pada model pendekatan apa yang akan kita gunakan, melainkan marilah kita “menangkap” esensi atau kerugma dari pesan yang mau disampaikan dalam Wahyu 13:17.
Mungkin pandangan ini akan cenderung spiritualis, tetapi kita tidak memungkiri juga bahwa ayat ini berbicara secara harfiah. Kelak umat Tuhan akan menghadapi kesulitan mengikuti sistem dunia ini, apa pun itu, termasuk dalam sistem perdagangan, interaksi sosial, hukum, dan sebagainya—sama seperti yang pernah dialami oleh jemaat mula-mula, tetapi dalam intensitas yang lebih besar dan lebih kuat.
Tapi, tidak perlu gelisah dan khawatir. Sebab, yang terpenting bukanlah menebak-nebak dan mencari tahu siapa “nama” binatang itu atau siapa yang menggunakan “angka”-nya. Yang terpenting nama Yesus dan nama Bapa tetap ada di “dahi” kita (Why. 14:1).
Bagi orang-orang Yudaisme, tanda di dahi dan di tangan bukanlah tanda harfiah. Tanda di dahi artinya firman Tuhan menguasai dan mengendalikan pikiran kita, sedangkan tanda di tangan artinya firman Tuhan menguasai dan mengendalikan setiap perbuatan dan perilaku kita.

Penulis:
Yosi Rorimpandei
Koordinator Komisi Pengajaran GKRIDC