
Pdt. Gomar Gultom: Kasus Ratu Entok Tidak Harus Dibawa Ke Ranah Hukum
Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) periode 2019-2024, Pdt. Gomar Gultom, menyesalkan keputusan Pengadilan Negeri (PN) Medan yang menjatuhkan hukuman penjara 34 bulan kepada selebgram Ratu Thalisa alias Ratu Entok karena kasus penodaan agama. Ia pun mendesak agar Ratu Entok dibebaskan dari segala tuntutan.
“Saya menyesalkan Keputusan Pengadilan Negeri (PN) Medan yang menjatuhkan hukuman penjara 34 bulan kepada selebgram Kota Medan Irfan Satria Putra Lubis alias Ratu Thalisa alias Ratu Entok, 40, dalam kasus dugaan penistaan agama (Senin, 10/3/2025)” kata Gultom, yang kini menjabat sebagai Ketua Majelis Pertimbangan PGI, pada Kamis (13/3/2025).
Gultom berpendapat bahwa kekristenan sama sekali tidak ternodai dan tidak merasa terhina dengan aksi dan perkataan Ratu Entok melalui akun TikTok-nya. Kekristenan menjunjung tinggi prinsip kebebasan dan olehnya membuka ruang bagi segala bentuk ekspresi, termasuk kebebasan Ratu Entok dalam mengekspresikan pendapatnya.
“Hanya orang yang tidak mampu merayakan keberagaman yang merasa terganggu dengan itu, yang tidak dapat digeneralisasi sebagai kekristenan. Sejarah panjang kekristenan penuh dengan onak duri dan ragam penghambatan, tetapi Yesus sendiri berkata, ‘ampunilah mereka Bapa.’ Sudah, selesai begitu saja,” kata Gultom.
Artikel Terkait
Menurut Gultom, kasus yang menjerat Ratu Entok, yang meminta Yesus mencukur rambutnya, tidak semestinya dibawa ke ranah hukum. Kalaupun itu harus dimasukkan sebagai delik penghinaan atau penodaan agama—sebagaimana tuntutan jaksa—maka, mestinya cukuplah diselesaikan dengan nasihat atau paling keras teguran berupa peringatan.
Pasal 313 KUHP sendiri, yang merupakan penyempurnaan Pasal 156a KUHP lama merupakan akomodasi dari UU Nomor 1/PNPS/1965, mengamanatkan demikian, cukup dengan nasihat atau teguran (ayat 2). Kalau sudah diperingatkan tetapi masih melakukan juga, barulah dibawa ke ranah hukum sebagai tindak pidana (ayat 3).
Gultom menambahkan penggunaan pasal-pasal dari UU Nomor 11/2008 dan Nomor 1/2024—keduanya tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)—hanya hendak membuktikan betapa bermasalahnya keduanya dari perspektif kebebasan berekspresi, “dan menurut saya harus ditinjau ulang.”
“Penggunaan segala bentuk blasphemy law dan turunannya sangat berbahaya secara fundamental, karena memberi kesempatan kepada negara berteologi, sesuatu yang mestinya dihindari, karena bukan ranahnya,” tambahnya lagi.
“Oleh karenanya, saya berharap Ratu Thalisa mengajukan banding, dan dengan ini saya mengimbau Pengadilan Tinggi mengoreksi Keputusan PN Medan tersebut dan serta merta membebaskan Ratu Thalisa,” pungkas Gultom.
Editor: OYR
Kirim Donasi